SATUAN ACARA PERKULIAHAN
A. Identitas Mata Kuliah
1. Nama Mata Kuliah : Pengelolaan Pendidikan
2. Kode Mata Kuliah :
3. Bobot SKS : 2 SKS
4. Semester : .III & IV
5. Jenjang : S1
6. Mata Kuliah Prasyarat : .
7. Jumlah Pertemuan : 16 X pertemuan + UTS dan UAS
8. Penanggung Jawab Mata Kuliah : Dr. Diding Nurdin, M.Pd
Anggota Tim / Asisten :
B. Tujuan Mata Kuliah
Setelah mahasiswa mengikuti perkuliahan pengelolaan pendidikan diharapkan mahasiswa mampu: (1) memahami teori dan konsep dasar pengelolaan pendidikan, (2) memahami fungsi dan peranana pengelolaan pendidikan, (3) proses dan prosedur, serta bidang garapan pengelolaan pendidikan di tingkat makro maupun mikro (persekolahan), (4) memahami masalah-masalah krusial yang dihadapi dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia khususnya dalam sistem persekolahan.
C. Deskripsi Mata Kuliah
Mata kuliah pengelolaan pendidikan membekali mahasiswa pada pemahaman terhadap berbagai aspek pengelolaan pendidikan sehingga mahasiswa diharapkan dapat memahami posisi dan peranannya secara benar sebagai tenaga kependidikan dalam sistem persekolahan, apabila kelak mereka memasuki dunia kerjanya.
D. Komponen Evaluasi : Presentasi, Tugas Individu, Makalah kelompok, UTS dan UAS.
E. Pokok Bahasan dan Alokasi Pertemuan
No
Pokok Bahasan
Bentuk Kegiatan
Waktu (JP)
1
Pengantar Perkuliahan
Ceramah
Dialog
2
Wawasan dasar pengelolaan pendidikan
Ceramah
Tanya jawab
3
Organisasi dan Manajemen pendidikan
Diskusi
Tanya jawab
4
Pengelolaan satuan pendidikan
Diskusi
Tanya jawab
5
Pengelolaan kelas
Diskusi
Tanya jwab
6
Pengelolaan kurikulum
Diskusi
Tanya jawab
7
Pengelolaan peserta didik
Diskusi
Tanya jawab
8
Ujian Tengah Semester (UTS)
Esai uraian
9
Pengelolaan tenaga kependidikan
Diskusi
Tanya jawab
10
Pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan
Diskusi
Tanya jawab
11
Pengelolaan keuangan pendidikan
Diskusi
Tanya jawab
12
Pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat
Diskusi
Tanya jawab
13
Kepemimpinan pendidikan
Diskusi
Tanya jawab
14
Supervisi pendidikan
Diskusi
Tanya jawab
15
Sistem informasi pendidikan dan ketatausahaan
Diskusi
Tanya jawab
16
Pengawasan dan penilaian satuan pendidikan
Diskusi
Tanya jawab
17
Masalah kontemporer pengelolaan sistem pendidikan
Nasional
Diskusi
Tanya jawab
18
Ujian Akhir Semester (UAS)
Esai/Uraian
Open Book
F. Sumber Rujukan
Ali, M,. (2000), Sistem Penjaminan Mutu dalam Manajemen Mutu Pendidikan, Jurnal Mimbar Pendidikan, No.1 tahun XIX, hal 28-30.
-------------,. (2000). Penerapan Quality Assurance dalam Manajemen Mutu Pendidikan, Seminar Nasional Penerapan Quality Assurance dalam Pendidikan, Pussisjian-Balitbang Dikbud.
Bennet, N., Crawford & Riches, C. (ed). (1992). Managing Change in Education: Individual and Organizational Prespectives. London: The Open University and Paul Chapman Publishing, Ltd.
Crosby, Philip B., (1984). Quality Without Tears: The Art of Hassle- Free Managemet, New York: Mc. Graw Hill Book Company.
-------------------., (1979). Quality is Free: The Art of Making Quality Certain, New York: Mc. Graw Hill Book Company.
Cuttance, P. (1995). An Evaluation of Quality Management and Quality Assurance System for School”, Cambridge Journal of Education, Vol.25 No.1 (halaman 97-108).
Daniels, T.D. dan Spikers, B.K. (1994) Perspectives on Organizational Communication. Madison, Wisconsin: Brown & Benchmark.
Djam’an S dan Udin S Sa’ud. (1994). Masalah Kontemporer Pengelolaan sistem Pendidikan Nasional Indonesia, Bandung: Jurusan Adpen
Departemen For Education and Childern’s Services., (1996). Quality Assurance Framework in School: Guidelines for Implementation, Adelaide: Quality Assurance Unit.
Departemen Pendidikan Nasional,. (2001). Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Dasar dan Menengah, Ditjen Dikdasmen-Depdiknas.
Dunn, N. William. (1991). Public Policysis: An Itroduction, New Jersey: Unversity of Pittsburgh.
Gaffar, M. F. (2002). Fungsi Manajer Pendidikan dalam Mengelola Pendidikan di Daerah Otonom, (makalah) Konprensi Nasional Manajemen Pendidikan, Jakarta.
Herman, J.L, & Herman, J.J, (1995). Total Quality Management (TQM) For Education, Journal of Education Technology. May-June (halaman 14-18).
Imai, Masaaki., (1986), Kaizen; Kunci Sukses Jepang dalam Persaingan (terjemah), Jakarta: PPM.
Juran, J.M, (1989), Merancang Mutu, Terjemahan Bambang Hartono dari Juran On Quality By Design, Jakarta: PT. Pustaka Binawan Pressindo (Buku ke 1).
Mulyasa, E. (2004). Manajemen Bebrbasis Sekolah, Bandung: Rosdakarya.
Rinerhart, G,. (1993). Quality Education: Applying the Philosophy of Dr. W. Edwars Deming to Transform the Education System, Milwaukee, WI: ASQC Quality Press.
Sallis, E., (1993). Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Educational Management Series.
Sanusi, A., (1990). Pendidikan Alternatif; Menyentuh Aras Dasar Persoalan Pendidikan dan Kemasyarakatan, Bandung: PPs IKIP Bandung.
Sergiovanni, J. T. (1992). Moral Leadership: Getting to The Heart of School Improvement. San Fransisco: Jossey Bass Publishers.
Soetopo, Hendyat. (2002). Desentralisasi Manajemen Pendidikan dan Profesionalisme dalam Kerangka Otonomi Daerah, (makalah) Konprensi Nasional Manajemen Pendidikan, Jakarta.
Slamet Margono., (1996), Filsafat dan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu di Perguruan Tinggi, Jakarta: Heds Project
Spicker, Paul. (1995). Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice Hall:
Tenner, A.R, dan De Toro, I.J (1992:68), Total Quality Management: Three Stepps To Continous Improvement, Reading, MA: Addison-Wesley Publishing Company.
Tim Dosen Administrasi Pendidikan. (2005). Pengelolaan Pendidikan, Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan FIP UPI
Tjiptono, F, dan Diana, A., (1996). Total Quality Management, Yogyakarta: Penerbit Andi.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003.
cinta&materi
Jumat, 28 Juni 2013
Senin, 17 Juni 2013
PARAGRAF DALAM PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH
PARAGRAF DALAM PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH
Moh. Badrih, S.Pd.,
M.Pd.
Paragraf dalam penulisan karya
ilmiah memiliki ciri hampir sama dengan paragraf pada umumnya. Yang membedakan
adalah keketatan dalam pengembangan gagasan dan penyusunan kalimatnya. Gagasan
dalam paragraph keilmuan dituntut pengembangannya secara utuh, dan lengkap.
Kalimat-kalimat dalam paragraph keilmuan dituntut penyusunannya secara runtut
atau memiliki kohesi dan koherensi.
Berikut ini dicontohkan paragraf
keilmuan, yakni: (1) kesatuan; keutuhan, (2) kebertalian, (koheren), dan (3)
kecukupan isi/kelengkapan gagasan.
Ciri Paragraf
Penulisan Karya Tulis Ilmiah
1)
Kesatuan
Gagasan
Paragraf dinyatakan memiliki
kesatuan gagasan apabila seluruh uraian atau detil pengembangannya, seluruh
detil penunjang tidak boleh menyimpang dari gagasan utama. Perhatikan controh
berikut.
(1) Sebuah
Penelitian mengandung tiga unsure pokok, yakni apa yang diteliti, bagaimana
peneliitian itu dilaksanakan, dan mengapa penelitian itu dilaksanakan. (2) Pertanyaan pertama mengenai masalah
penelitian, pertanyaan kedua mengenai metodologi penelitian, dan pertanyaan
ketiga mengenai pentingnya penelitian.
(3) Usaha untuk menjawab apa merupakan kegiatan pokok. (4) Oleh karena itu, kegiatan tersebut
merupakan inti dari pelakasanaan suatu penelitian.
Dalam contoh (1) di muka, kalimat
(1) adalah kalimat utama, kalimat (2), (3), dan (4) adalah kalimat penjelas.
Kalimat penjelasannya sama-sama mendukung gagasan utama (1) yakni masalah
penelitian.
Contoh 2
(1) Morfologi
adalah ilmu bahasa yang mengkaji bentukan kata. (2) Tiga kajian Morfologi
adalah afiksasi, morfologi, dan komposisi. (3) Afiksasi mengaji proses
pengimbuhan pada kata dasar, reduplikasi mengaji proses perulangan kata,
komposisi mengaji proses pengabungan atau pemajemukan kata. (4) Morfologi
diajarkan pada jurusan linguistik dan pendidikan bahasa di perguruan tinggi.
Pada contoh (2) adakah kaliamat
yang kehadirannya tidak mendukung gagasan utama? Apakah anda menemukan bahwa
kalimat (4) adalah kalimat sumbang?
2)
Kebertalian
(Kohesi – Koherensi)
Paragraf dinyatakan memiliki
kebertalian atau koherensi apabila hubungan antar kalimat sebelum dan
sesudahnya bersifat runtun atau tidak melompat-lompat. Paragraf bukanlah
kumpulan atau tumpukan kalimat yang masing-masing berdiri sendiri. Paragraf
dibentuk oleh beberapa kalimat yang mempunyai hubungan timbale-balik secara
fungsional.
Contoh (1)
(1) Dalam
mengajarkan sesuatu, langkap pertama yang perlu dilakukan ialah menentukan tujuan. (2) Tanpa adanya tujuan yang sudah ditetapkan, materi yang diberikan, metode yang digunakan, dan
evaluasi yang dipilih, tidak akan memberikan manfaat bagi anak didik dalam
menerapkan hasil proses belajar mengajar. (3) Dengan mengetahui tujuan, dapat ditentukan
materi yang akan diajarkan, metode yang digunakan, serta bentuk yang
evaluasinya.
Dalam contoh (3) kesetalian dilakukan dengan cara mengulang
kata kunci, yakni kata yang dianggap penting dalam sebuah paragraf. Kata kunci
yang mula-mula timbul di awal paragraf, yakni tujuan kemudian diulang-ulang dalam kalimat berikutnya. Pengulangan
ini berfungsi memelihara kesetalian seluruh kalimat.
Contoh (2)
(1) Dengan penuh
kepuasan Pak Mitra memandangi hamparan padi yang tumbuh dengan subur. (2) Jerih payahnya tidak sia-sia. (3)
Beberapa bulan lagi ia akan memetik hasilnya. (4) Sudah terbayang dimatanya,
orang sibuk memotong, memanggul padi berkarung-karung, dan menimbunnya di
halaman rumah. (5) Tentu anaknya, Sumi, dan calon menantunya, Hendra, akan ikut
bergembira. (6) Hasil panen yang berlimpah ini tentu dapat mengantarkan mereka
ke magligai perkawinan.
Kebertalian paragraph (4) dibentuk dengan menggunakan kata
ganti. Kata ganti yang mengacu pada manusia, benda, biasanya untuk menghindari
kebosanan, diganti dengan kata ganti.
Untuk menyatakan kebertalian dari
sebuah paragraph, ada bentuk lain yang sering digunakan, yakni penggunaan kata
atau frasa dalam bermacam hubungan.
Contoh (3)
Ada empat hal
yang perlu diperhatikan dalam memilih topik karya ilmiah. Pertama, topik yang dipilih hendaknya menarik untuk dikaji. Topik
yang menarik akan mengimbulkan kegahiraan dalam mengkajinya. Kedua, topik jangan terlalu luas dan
jangan terlalu sempit. Topik yang terlalu luas akan menyulitkan penulisannya
karena tidak ada pemfokusan masalah. Topik yang terlalu sempit tidak menantang
penulisnya. Keiga, topik yang dipilih
sesuai dengan minat dan kemampuan penulisnya. Keempat, topik yang dikaji
hendaknya ada manfaatnya untuk menambah ilmu pengatahuan atau berkaitan
dengan prestasi.
3)
Kecukupan
Isi dan Gagasan
Paragraf dinyatakan memiliki
kesatuan isi dan gagasan apabila diuraikan sejumlah rincian atau detil
penunjang sebagaimana dituntut oleh gagasan utama paragraf. Paragraf yang
rincian atau detil penunjangnya tidak cukup disebut paragraf mini.
Contoh (1)
(1) Ilmu dan teknologi
memberikan sumbangannya kepada perbaikan produksi pertanian denngan berbagai
cara yang penting. (2) Pupuk yang diracik secara alamiah membuat tanah
pertanian lebih produktif.
Contoh (2)
(1) Ilmu dan
teknologi memberikan sumbangannya kepada perbaikan produksi pertanian denngan
berbagai cara yang penting. (2) Pupuk yang diracik secara alamiah membuat tanah
pertanian lebih produktif. (3) Insektisida dan pestisida yang diterapkan dengan
berkala pada tanaman yang baru tumbuh akan memusnahkan berbagai jenis hama dan
serangga yang merantak. (4) Herbisida sanggup membubuh rumput yang tidak
dikehendaki sehingga tanaman dapat tumbuh dengan subur.
penulisan kalimat dalam karya tulis
KALIMAT
KEILMUAN
Penggunaan kalimat dalam penulisan karya ilmiah perlu
dilakukan secara efektif. Keefektifan kalimat tersebut dapat diukur dari dua
sisi, yaitu dari sisi (a) penulis, dan (b) pembaca. Dari sisi penulis, kalimat
dikatakan efektif jika kalimat yang digunakan dapat mangakomodasi gagasan
keilmuan penulis secara tepat dan akurat. Dari sisi pembaca, pesan kalimat
ditafsirkan sama persis dengan yang dimaksudkan penulisnya. Oleh sebab itu jika
pembaca masih mengalami kebingungan, kesulitan yang mengakibatkan salah
menafsirkan pesan kalimat maka kalimat tersebut belum dikatagorikan efektif.
Kalimat dikatakan efektif jika memiliki cirri (1) gramatikal, (2) logis, (3)
lengkap, (4) sejajar, (5) hemat, dan (6) ada penekanan.
1)
Gramatikal
Kalimat
memiliki cirri gramatikal jika kalimat tersebut disusun mengikuti kaidah bahasa
Indonesia yang berlaku. Untuk memperjelas pengertian tersebut, perhatikan
kalimat-kalimat berikut.
a. Pendapatmu
tentang tafsiran karya sastra itu bersifat subjektif, tidak bisa diterima olehku.
b. Mahasiwa
Ekonomi akan ungkapkan perasaan mereka lewat unjuk karya ilmiah.
c. Para
petani tentu mengharapkan hasil panennya akan cepat terjual dan laba banyak.
d. Di
Negara-negara maju hampir setiap keluarga memiliki mobil pribadi di mana hal
ini sangat mungkin terjadi juga di Indonesia.
Empat kalimat di atas
tidak gramatikal. Contoh kalimat a tidak gramtikal karena strukturnya tidak
benar, kalimat b tidak gramtikal karena bentukan kata transitifnya tidak benar,
kalimat c tidak gramatikal karena karena penggunaan kata gantinya tidak tepat,
dan kalimat d tidak gramatikal karena karena penggunaan kata tanya “di
mana” yang difungsikan secara kata
sambung tidak benar.
2)
Logis
Kalimat dikatakan logis
jika jalan pikiran, atau gagasan keilmuan yang dinyatakan dalam kalimat dapat
diterima kebenarannya oleh akal sehat pembaca. Perhatikan contoh kalimat
berikut.
a. Masalah
perencanaan karangan ini mau saya jelaskan pada pertemuan yang akan datang.
b. Di
pabrik rokok Gudang Garam banyak membutuhkan tenaga kerja wanita, terutama yang
belum menikah.
Kedua kalimat di atas
tidak logis. Kaliamt a tidak logis karena pilihan katanya yang salah. Kata mau
tidak tepat untuk konteks tersebut. Perencanaan karangan tidak mungkin
mempunyai kemauan yang mempunyai kemauan adalah orangnya. Contoh kalimat b
tidak logis karena di pabrik rokok Gudang Garam tidak mungkin membutuhkan
tenaga kerja wanita, yang membutuhkan itu adalah pabrik rokok
Gudang Garam. Penempatan kata depan (di) sebelum subjek mengakibatkan
kalimat itu tidak logis.
3)
Lengkap
Kalimat karya tulis ilmiah perbeda dengan
kalimat percakapan sehari-hari dalam hal kelengkapannya. Dalam kalimat keilmuan
diperlukan penggunaan unsure-unsur wajib, yakni penggunaan subjek, predikat,
objek, dan keterangan secara jelas dan fungsional.
Perhatikan contoh kalimat berikut ini.
a. Agar
tercipta lingkungan yang bersih membutuhkan tenaga , biaya, dan partisipasi
masyarakat yang mengelolanya.
b. Ketidakberhasilan
para penguasaha kecil itu karena
ketidaktahuan mereka dalam mengelola usaha.
c. Para
guru SD sebenarnya sudah berusaha menerapkan, tetapi KTSP itu memang rumit.
d. Bank-bang
di Indonesia sudah mulai berani meminjami pengusaha kecil .
Empat
kelimat di atas tidak lengkap . Contoh kalimat a tidak bersubjek; kalimat b
tidak berpredikat; kalimat c d dan d tidak berobjek.
4)
Sejajar
Kesejajaran kalimat
artinya kesamaan atau keserasian unsur kebahasaaan, misalnya bentukan kata,
atau pola struktur yang digunakan dalam suatu kalimat. Gagasan atau informasi
keilmuan yang sama hendaknya dinyatakan dalam bentukan kata atau pola struktur
kalimat yang sama, sepadan atau sejajar. Perhatikan contoh kalimat berikut ini.
a. Sangat
disayangkan bahwa sampai saat ini pimpinan lembaga peneliitian belum
merekomendasi usulan penelitian ini.
b. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan agar
keadaan menjadi sehat, di antaranya adalah (i) berolahraga, (ii) istirahat
secukupnya, dan (iii) minum yang banyak.
Kedua kalimat di atas
tidak sejajar. Contoh kalimat a tidak sejajar karena pola struktur klausan
pertama terbentuk pasif dan pola struktur klausa kedua berbentuk aktif. Contoh
kalimat b tidak sejajar karena rincian (i) berbentuk kata kerja (ii) berbentuk
kata benda, dan (iii) berbentuk kata sambung.
5)
Hemat
Kalimat dikatakan hemat
jika seluruh unsur yang digunakan dalam kalimat misalnya, kata, istilah, dan
frasa benar-benar mendukung gagasan keilmuan penulisnya. Oleh sebab itu
penggunaan kata, istilah, dan frasa secara mubazir, boros, atau
berlebih-lebihan sebaiknya dihindari.
Perhatikan conton berikut ini.
a. Pembelajaran
tentang sain saat ini perlu penanganan khusus karena banyak para siswa yang
mengeluhkan kesulitan materi
pembelajaran tersebut.
b. Maksud
daripada dicantumkannya subtopik latihan pada setiap modul adalah untuk
mengetahui pemahaman siswa tentang materi.
Kedua kalimat di atas
tidak hemat karena menggunakan kata ‘tentang’ dan ‘daripada’ yang tidak
mendukung gagasan penulisnya. Kedua kata dalam dua kalimat tersebut seharusnya
dihilangkan.
6)
Penekanan
Gagasan atau informasi
yang dipentingkan oleh penulis perlu diberi penekanan atau emphasis. Hal ini
dilakukan oleh penulis aga informasi yang dinyatakan memperoleh perhatian dari
pembaca. Peenkanan unsur kalimat dilakukan dengan cara (i) meletakkan unsur
yang ditekankan di awal pernyataan, atau
(ii) membubuhi partikel pementing, yakni ‘lah’, ‘kah’, dan ‘pun’. Perhatikan
contoh berikut ini.
a. Wanita
karyawan sepatutnya mendapatkan perhatikan khusus dari perusahaan tempat mereka
bekerja.
b. Dalam
kekacauan yang terjadi di UGM itu, sebaiknya masyarakat mengangagap bahwa
mahasiswalah yang dianggap bersalah.
Dalam contoh kalimat a,
yang ditekankan dalam kalimat tersebut adalah “karyawan wanita”. Karena itu, unsur
tersebut diletakkan di awal kalimat. Demikian juga frasa karyawan wanita, kata
karyawan menempati inti frasa. Kata tersebut berkedudukan sebagai kata yang
diterangkan dan ditempatkan di awal frasa, sehingga susunannya bukanlah wanita
karyawan, tetapi karyawan wanita. Adapun contoh kalimat b, kata yang ditekanan
adalah mahasiswa, sehingga kata tersebut dibubuhi lah, agar pembaca atau pendengar
memperhatikan kata tersebut secara khusus.
Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia
*Moh. Badri, S.Pd., M.Pd.*
Versi 1
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik
Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36.
Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan
dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari
penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu, karena
dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka
menggunakan bahasa daerahnya masing-masing sebagai bahasa ibu, seperti bahasa
Melayu pasar, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan lain sebagainya. Untuk sebagian
besar masyarakat Indonesia lainnya, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan
untuk taraf resmi bahasa Indonesia adalah bahasa pertama. Bahasa Indonesia
merupakan sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik
Indonesia.
Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia tahun
1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus
menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari
bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu
yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar
Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, “Jang
dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja
berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe
dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe
laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa
Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli
jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia.” atau sebagaimana
diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, “…bahwa
asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa
Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia.”
Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek
temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar
masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa
Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan
bahwa bahasa Indonesia baru dianggap “lahir” atau diterima keberadaannya pada
tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa
Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sebuah bahasa
Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di
Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern. Bentuk bahasa
sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini
sangat lentur, sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi
kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai
bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi yang
pada masa lalu digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera,
Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena
penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu
Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda melihat kelenturan Melayu Pasar
dapat mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya
dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, diantaranya dengan penerbitan karya
sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu
Pasar sudah digunakan oleh banyak pedagang dalam berkomunikasi.
Melayu Kuno
Penyebutan pertama istilah “Bahasa Melayu” sudah dilakukan
pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa
prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini
ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim
yang berjaya pada abad ke-7 sampai ke-12. Wangsa Syailendra juga meninggalkan
beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang
ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan
Sriwijaya.
Berbagai batu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu
seperti:
1. Prasasti
Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683.
2. Prasasti Talang
Tuo di Palembang, tahun 684.
3. Prasasti Kota
Kapur di Bangka Barat, tahun 686.
4. Prasasti Karang
Brahi antara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688.
Yang kesemuanya beraksara Pallawa dan bahasanya bahasa
Melayu Kuno memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu
Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.
Prasasti-prasasti lain yang bertulis dalam bahasa Melayu
Kuno juga terdapat di:
1. Jawa Tengah:
Prasasti Gandasuli, tahun 832, dan Prasasti Manjucrigrha.
2. Bogor: Prasasti
Bogor, tahun 942.
Kedua prasasti di pulau Jawa itu memperkuat pula dugaan
bahwa bahasa Melayu Kuno pada saat itu bukan saja dipakai di Sumatra, melainkan
juga dipakai di Jawa.
Penelitian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan
bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada
masa yang berdekatan.
Melayu Klasik
Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9
hingga abad ke-13, ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu
Klasik merupakan kelanjutan dari Melayu Kuno. Catatan berbahasa Melayu Klasik
pertama berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303.
Seiring dengan berkembangnya agama Islam yang dimulai dari
Aceh pada abad ke-14, bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi
sampai pada tahap di mana ekspresi “Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.
Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua
franca, namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai
bahasa ibu. Bahasa ibu masih menggunakan bahasa daerah yang jumlahnya mencapai
360 bahasa.
Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay Archipelago
bahwa, “Penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber
dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa
orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia
Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda.”
Jan Huyghen van Linschoten di dalam bukunya Itinerario
menuliskan bahwa, “Malaka adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai
negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri,
dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka.
Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di
kawasan Tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang
paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh.”
Bahasa Indonesia modern dapat dilacak sejarahnya dari
literatur Melayu Kuno. Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua.
Di tahun 1901, Indonesia di bawah Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen, sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di bawah Inggris
mengadopsi ejaan Wilkinson.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional
pada saat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai
bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan
ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin
mengatakan bahwa, “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di
Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan
menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa
itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau
bahasa persatuan.”
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia
banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti: Marah Rusli, Abdul
Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi,
Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah
perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Versi Ke-2
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada
saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan
Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2)
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan
tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada
tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa
nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa
negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar
1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia
(Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan,
antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.
Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu
sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di
Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa
kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai
sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa
perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa
yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing,
yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di
Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen
(I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089).
Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan
dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua
franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas
dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti
tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun
hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat
Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan
menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh
masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku,
antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak
mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta
makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai
di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak
budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari
bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa
Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi
dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia.
Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa
Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan
secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi
bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa
Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran,
dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945,
telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional
sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan
masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah. (from: berbagai
sumber)
Versi Ke-3
Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan tanggal bersejarah bagi
bahasa Indonesia yang saat itu diresmikan menjadi bahasa negara dan menjadi
bahasa persatuan dari sekian ratus bahasa daerah.
Namun seperti apakah yang dinamakan bahasa Indonesia itu?
Orang mengenalnya sebagai bahasa Melayu yang dimodifikasi, lalu dicampur dengan
bahasa-bahasa serapan dari berbagai daerah dan dari bahasa asing, kemudian
dibakukan.Dari manakah asal-usul bahasa Melayu itu? Apakah bahasa itu hanya
dituturkan oleh etnis Melayu sejak berabad-abad lalu? Padahal etnis Melayu
sendiri hanya sebagian kecil saja dari ratusan etnis di nusantara?
Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengatakan, bahasa Melayu
dan ratusan bahasa daerah lainnya di nusantara sebenarnya berakar dari bahasa
Austronesia yang mulai muncul sekitar 6.000-10.000 tahun lalu.
Penyebaran penutur bahasa Austronesia, ujar Ketua Ikatan Ahli
Arkeologi Indonesia (IAAI) itu, merupakan fenomena besar dalam sejarah umat
manusia karena sebagai suatu rumpun bahasa, Austronesia merupakan yang terbesar
di dunia, meliputi 1.200 bahasa dan dituturkan oleh hampir 300 juta populasi.
Masyarakat penuturnya tersebar luas di wilayah sepanjang 15
ribu km meliputi lebih dari separuh bola bumi, yaitu dari Madagaskar di barat
hingga Pulau Paskah di ujung timur, dari Taiwan-Mikronesia di utara hingga
Selandia Baru di selatan.
“Out of Taiwan”
Mengenai asal-usul penutur Austronesia, Harry mengatakan, ada
beberapa hipotesa. Yang paling umum adalah hipotesa bahwa asal leluhur penutur
Austronesia adalah Formosa (Taiwan) atau model “Out of Taiwan”.
Arkeolog lainnya Daud A Tanudirjo menyebutkan, Robert Blust
adalah pakar linguistik yang paling lantang menyuarakan pendapat bahwa asal-ususl
penutur Austronesia adalah Taiwan.
Sejak 1970-an Blust telah mencoba merekonstruksi silsilah dan
pengelompokan bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia misalnya kosakata
protobahasa Austronesia
yang berkaitan dengan flora dan fauna serta gejala alam lain, kata Daud.
yang berkaitan dengan flora dan fauna serta gejala alam lain, kata Daud.
“Ia juga menawarkan rekonstruksi pohon kekerabatan rumpun
bahasa Austronesia dan perkiraan waktu pencabangannya mulai dari
Proto-Austronesia hingga Proto-Oseania,” katanya.
Para leluhur ini, diungkapkan Daud, awalnya berasal dari Cina
Selatan yang bermigrasi ke Taiwan pada 5.000-4.000 SM, namun akar bahasa
Austronesia baru muncul beberapa abad kemudian di Taiwan.
Kosakata yang dapat direkonstruksi dari bahasa awal
Austronesia yang dapat dilacak antara lain : rumah tinggal, busur, memanah,
tali, jarum, tenun, mabuk, berburu, kano, babi, anjing, beras, batu giling,
kebun, tebu, gabah, nasi, menampi, jerami,
hingga mengasap.
hingga mengasap.
Para petani purba di Taiwan ini berkembang cepat dan lalu
terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok yang hidup terpisah dan bahasanya
menjadi berbeda-beda dengan setidaknya kini ada sembilan bahasa yang
teridentifikasi sebagai bahasa formosa.
Bermigrasi
Migrasi leluhur dari Taiwan ke Filipina mulai terjadi pada
4.500-3.000 SM. Leluhur ini adalah salah satu dari kelompok yang memisahkan
diri. Mereka bermigrasi ke selatan menuju Kepulauan Filipina bagian utara yang
kemudian memunculkan cabang bahasa baru yakni Proto-Malayo-Polinesia (PMP).
Tahap berikutnya, ujar Daud, terjadi pada 3.500-2.000 SM di
mana masyarakat penutur bahasa PMP yang awalnya tinggal di Filipina Utara mulai
bermigrasi ke selatan melalui Filipina Selatan menuju Kalimantan dan Sulawesi
serta ke arah tenggara menuju Maluku Utara.
Proses migrasi ini membuat bahasa PMP bercabang menjadi
bahasa Proto Malayo Polinesia Barat (PWMP) di kepulauan Indonesia bagian barat
dan Proto Malayo Polinesia Tengah-Timur (PCEMP) yang berpusat di Maluku Utara.
“Rupanya ketika bermigrasi ke arah tenggara penanaman padi
mulai ditinggalkan karena tidak sesuai dengan lingkungannya. Mereka mulai
memanfaatkan tanaman keladi dan umbi-umbian lain serta buah-buahan,” katanya.
Namun pada 3.000-2.000 SM leluhur yang ada di Maluku Utara
bermigrasi ke selatan dan timur. Hanya dalam waktu singkat migrasi dari Maluku
Utara mencapai Nusa Tenggara sekitar 2.000 SM yang kemudian memunculkan bahasa
Proto Malayo Polinesia Tengah
(PCMP).
(PCMP).
Demikian pula migrasi ke timur yang mencapai pantai utara
Papua Barat dan melahirkan bahasa-bahasa Proto Malayo-Polinesia Timur (PEMP).
Migrasi dari Papua Utara ke barat terjadi pada 2.500 SM dan
ke timur pada 2.000-1.500 SM, di mana penutur PEMP di wilayah pantai barat
Papua Barat melakukan migrasi arus balik menuju Halmahera Selatan, Kepulauan
Raja Ampat, dan pantai barat Papua Barat
yang kemudian muncul bahasa yang dikelompokkan sebagai Halmahera Selatan-Papua Nugini Barat (SHWNG).
yang kemudian muncul bahasa yang dikelompokkan sebagai Halmahera Selatan-Papua Nugini Barat (SHWNG).
Setelah itu kelompok lain dari penutur PEMP bermigrasi ke
Oseania dan mencapai kepulauan Bismarck di Melanesia sekitar 1.500 SM dan
memunculkan bahasa Proto Oseania.
“Sedangkan di Kepulauan Indonesia di bagian barat, setelah
sempat menghuni Kalimantan dan Sulawesi, pada 3.000-2.000 SM, para penutur PWMP
bergerak ke selatan, bermigrasi ke Jawa dan Sumatera,” katanya.
Penutur PWMP yang asalnya dari Kalimantan dan Sulawesi itu
lalu bermigrasi lagi ke utara antara lain ke Vietnam pada 500 SM dan
Semenanjung Malaka, ujarnya.
Menjelang awal tahun Masehi, penutur bahasa WMP juga menyebar
lagi ke Kalimantan sampai ke Madagaskar, tambah Daud.
Bentuk rumpun bahasa Austronesia ini lebih menyerupai garu
daripada bentuk pohon. Karena semua proto-bahasa dalam kelompok ini, dari Proto
Malayo Polynesia hingga Proto Oseania menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi,
yaitu lebih dari 84 persen dari 200 pasangan kata, katanya.
Dengan demikian, kata Harry Truman, hampir seluruh kawasan
nusantara bahkan sampai ke kawasan negeri-negeri tetangga dan masyarakat
kepulauan Pasifik dan Madagaskar menuturkan bahasa yang asal-muasalnya
merupakan bahasa Austronesia.
“Kecuali masyarakat yang ada di pedalaman Papua dan pedalaman
pulau Timor yang bahasanya lebih mirip dengan bahasa pedalaman Australia,”
katanya.
Bahasa Indonesia sekarang ini, kata Harry lagi, sudah sangat
kompleks karena penuturnya tidak hanya hidup dengan sukunya masing-masing dan
beradaptasi dengan rumpun bahasa dunia lainnya seperti dari India, Arab,
Portugis, Belanda dan Inggris.
***
Langganan:
Postingan (Atom)