*Moh. Badri, S.Pd., M.Pd.*
Versi 1
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik
Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36.
Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan
dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari
penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu, karena
dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka
menggunakan bahasa daerahnya masing-masing sebagai bahasa ibu, seperti bahasa
Melayu pasar, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan lain sebagainya. Untuk sebagian
besar masyarakat Indonesia lainnya, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan
untuk taraf resmi bahasa Indonesia adalah bahasa pertama. Bahasa Indonesia
merupakan sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik
Indonesia.
Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia tahun
1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus
menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari
bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu
yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar
Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, “Jang
dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja
berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe
dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe
laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa
Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli
jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia.” atau sebagaimana
diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, “…bahwa
asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa
Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia.”
Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek
temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar
masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa
Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan
bahwa bahasa Indonesia baru dianggap “lahir” atau diterima keberadaannya pada
tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa
Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sebuah bahasa
Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di
Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern. Bentuk bahasa
sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini
sangat lentur, sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi
kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai
bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi yang
pada masa lalu digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera,
Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena
penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu
Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda melihat kelenturan Melayu Pasar
dapat mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya
dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, diantaranya dengan penerbitan karya
sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu
Pasar sudah digunakan oleh banyak pedagang dalam berkomunikasi.
Melayu Kuno
Penyebutan pertama istilah “Bahasa Melayu” sudah dilakukan
pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa
prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini
ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim
yang berjaya pada abad ke-7 sampai ke-12. Wangsa Syailendra juga meninggalkan
beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang
ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan
Sriwijaya.
Berbagai batu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu
seperti:
1. Prasasti
Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683.
2. Prasasti Talang
Tuo di Palembang, tahun 684.
3. Prasasti Kota
Kapur di Bangka Barat, tahun 686.
4. Prasasti Karang
Brahi antara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688.
Yang kesemuanya beraksara Pallawa dan bahasanya bahasa
Melayu Kuno memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu
Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.
Prasasti-prasasti lain yang bertulis dalam bahasa Melayu
Kuno juga terdapat di:
1. Jawa Tengah:
Prasasti Gandasuli, tahun 832, dan Prasasti Manjucrigrha.
2. Bogor: Prasasti
Bogor, tahun 942.
Kedua prasasti di pulau Jawa itu memperkuat pula dugaan
bahwa bahasa Melayu Kuno pada saat itu bukan saja dipakai di Sumatra, melainkan
juga dipakai di Jawa.
Penelitian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan
bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada
masa yang berdekatan.
Melayu Klasik
Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9
hingga abad ke-13, ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu
Klasik merupakan kelanjutan dari Melayu Kuno. Catatan berbahasa Melayu Klasik
pertama berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303.
Seiring dengan berkembangnya agama Islam yang dimulai dari
Aceh pada abad ke-14, bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi
sampai pada tahap di mana ekspresi “Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.
Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua
franca, namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai
bahasa ibu. Bahasa ibu masih menggunakan bahasa daerah yang jumlahnya mencapai
360 bahasa.
Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay Archipelago
bahwa, “Penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber
dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa
orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia
Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda.”
Jan Huyghen van Linschoten di dalam bukunya Itinerario
menuliskan bahwa, “Malaka adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai
negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri,
dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka.
Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di
kawasan Tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang
paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh.”
Bahasa Indonesia modern dapat dilacak sejarahnya dari
literatur Melayu Kuno. Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua.
Di tahun 1901, Indonesia di bawah Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen, sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di bawah Inggris
mengadopsi ejaan Wilkinson.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional
pada saat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai
bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan
ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin
mengatakan bahwa, “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di
Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan
menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa
itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau
bahasa persatuan.”
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia
banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti: Marah Rusli, Abdul
Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi,
Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah
perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Versi Ke-2
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada
saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan
Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2)
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan
tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada
tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa
nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa
negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar
1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia
(Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan,
antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.
Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu
sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di
Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa
kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai
sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa
perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa
yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing,
yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di
Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen
(I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089).
Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan
dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua
franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas
dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti
tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun
hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat
Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan
menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh
masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku,
antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak
mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta
makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai
di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak
budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari
bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa
Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi
dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia.
Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa
Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan
secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi
bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa
Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran,
dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945,
telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional
sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan
masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah. (from: berbagai
sumber)
Versi Ke-3
Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan tanggal bersejarah bagi
bahasa Indonesia yang saat itu diresmikan menjadi bahasa negara dan menjadi
bahasa persatuan dari sekian ratus bahasa daerah.
Namun seperti apakah yang dinamakan bahasa Indonesia itu?
Orang mengenalnya sebagai bahasa Melayu yang dimodifikasi, lalu dicampur dengan
bahasa-bahasa serapan dari berbagai daerah dan dari bahasa asing, kemudian
dibakukan.Dari manakah asal-usul bahasa Melayu itu? Apakah bahasa itu hanya
dituturkan oleh etnis Melayu sejak berabad-abad lalu? Padahal etnis Melayu
sendiri hanya sebagian kecil saja dari ratusan etnis di nusantara?
Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengatakan, bahasa Melayu
dan ratusan bahasa daerah lainnya di nusantara sebenarnya berakar dari bahasa
Austronesia yang mulai muncul sekitar 6.000-10.000 tahun lalu.
Penyebaran penutur bahasa Austronesia, ujar Ketua Ikatan Ahli
Arkeologi Indonesia (IAAI) itu, merupakan fenomena besar dalam sejarah umat
manusia karena sebagai suatu rumpun bahasa, Austronesia merupakan yang terbesar
di dunia, meliputi 1.200 bahasa dan dituturkan oleh hampir 300 juta populasi.
Masyarakat penuturnya tersebar luas di wilayah sepanjang 15
ribu km meliputi lebih dari separuh bola bumi, yaitu dari Madagaskar di barat
hingga Pulau Paskah di ujung timur, dari Taiwan-Mikronesia di utara hingga
Selandia Baru di selatan.
“Out of Taiwan”
Mengenai asal-usul penutur Austronesia, Harry mengatakan, ada
beberapa hipotesa. Yang paling umum adalah hipotesa bahwa asal leluhur penutur
Austronesia adalah Formosa (Taiwan) atau model “Out of Taiwan”.
Arkeolog lainnya Daud A Tanudirjo menyebutkan, Robert Blust
adalah pakar linguistik yang paling lantang menyuarakan pendapat bahwa asal-ususl
penutur Austronesia adalah Taiwan.
Sejak 1970-an Blust telah mencoba merekonstruksi silsilah dan
pengelompokan bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia misalnya kosakata
protobahasa Austronesia
yang berkaitan dengan flora dan fauna serta gejala alam lain, kata Daud.
yang berkaitan dengan flora dan fauna serta gejala alam lain, kata Daud.
“Ia juga menawarkan rekonstruksi pohon kekerabatan rumpun
bahasa Austronesia dan perkiraan waktu pencabangannya mulai dari
Proto-Austronesia hingga Proto-Oseania,” katanya.
Para leluhur ini, diungkapkan Daud, awalnya berasal dari Cina
Selatan yang bermigrasi ke Taiwan pada 5.000-4.000 SM, namun akar bahasa
Austronesia baru muncul beberapa abad kemudian di Taiwan.
Kosakata yang dapat direkonstruksi dari bahasa awal
Austronesia yang dapat dilacak antara lain : rumah tinggal, busur, memanah,
tali, jarum, tenun, mabuk, berburu, kano, babi, anjing, beras, batu giling,
kebun, tebu, gabah, nasi, menampi, jerami,
hingga mengasap.
hingga mengasap.
Para petani purba di Taiwan ini berkembang cepat dan lalu
terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok yang hidup terpisah dan bahasanya
menjadi berbeda-beda dengan setidaknya kini ada sembilan bahasa yang
teridentifikasi sebagai bahasa formosa.
Bermigrasi
Migrasi leluhur dari Taiwan ke Filipina mulai terjadi pada
4.500-3.000 SM. Leluhur ini adalah salah satu dari kelompok yang memisahkan
diri. Mereka bermigrasi ke selatan menuju Kepulauan Filipina bagian utara yang
kemudian memunculkan cabang bahasa baru yakni Proto-Malayo-Polinesia (PMP).
Tahap berikutnya, ujar Daud, terjadi pada 3.500-2.000 SM di
mana masyarakat penutur bahasa PMP yang awalnya tinggal di Filipina Utara mulai
bermigrasi ke selatan melalui Filipina Selatan menuju Kalimantan dan Sulawesi
serta ke arah tenggara menuju Maluku Utara.
Proses migrasi ini membuat bahasa PMP bercabang menjadi
bahasa Proto Malayo Polinesia Barat (PWMP) di kepulauan Indonesia bagian barat
dan Proto Malayo Polinesia Tengah-Timur (PCEMP) yang berpusat di Maluku Utara.
“Rupanya ketika bermigrasi ke arah tenggara penanaman padi
mulai ditinggalkan karena tidak sesuai dengan lingkungannya. Mereka mulai
memanfaatkan tanaman keladi dan umbi-umbian lain serta buah-buahan,” katanya.
Namun pada 3.000-2.000 SM leluhur yang ada di Maluku Utara
bermigrasi ke selatan dan timur. Hanya dalam waktu singkat migrasi dari Maluku
Utara mencapai Nusa Tenggara sekitar 2.000 SM yang kemudian memunculkan bahasa
Proto Malayo Polinesia Tengah
(PCMP).
(PCMP).
Demikian pula migrasi ke timur yang mencapai pantai utara
Papua Barat dan melahirkan bahasa-bahasa Proto Malayo-Polinesia Timur (PEMP).
Migrasi dari Papua Utara ke barat terjadi pada 2.500 SM dan
ke timur pada 2.000-1.500 SM, di mana penutur PEMP di wilayah pantai barat
Papua Barat melakukan migrasi arus balik menuju Halmahera Selatan, Kepulauan
Raja Ampat, dan pantai barat Papua Barat
yang kemudian muncul bahasa yang dikelompokkan sebagai Halmahera Selatan-Papua Nugini Barat (SHWNG).
yang kemudian muncul bahasa yang dikelompokkan sebagai Halmahera Selatan-Papua Nugini Barat (SHWNG).
Setelah itu kelompok lain dari penutur PEMP bermigrasi ke
Oseania dan mencapai kepulauan Bismarck di Melanesia sekitar 1.500 SM dan
memunculkan bahasa Proto Oseania.
“Sedangkan di Kepulauan Indonesia di bagian barat, setelah
sempat menghuni Kalimantan dan Sulawesi, pada 3.000-2.000 SM, para penutur PWMP
bergerak ke selatan, bermigrasi ke Jawa dan Sumatera,” katanya.
Penutur PWMP yang asalnya dari Kalimantan dan Sulawesi itu
lalu bermigrasi lagi ke utara antara lain ke Vietnam pada 500 SM dan
Semenanjung Malaka, ujarnya.
Menjelang awal tahun Masehi, penutur bahasa WMP juga menyebar
lagi ke Kalimantan sampai ke Madagaskar, tambah Daud.
Bentuk rumpun bahasa Austronesia ini lebih menyerupai garu
daripada bentuk pohon. Karena semua proto-bahasa dalam kelompok ini, dari Proto
Malayo Polynesia hingga Proto Oseania menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi,
yaitu lebih dari 84 persen dari 200 pasangan kata, katanya.
Dengan demikian, kata Harry Truman, hampir seluruh kawasan
nusantara bahkan sampai ke kawasan negeri-negeri tetangga dan masyarakat
kepulauan Pasifik dan Madagaskar menuturkan bahasa yang asal-muasalnya
merupakan bahasa Austronesia.
“Kecuali masyarakat yang ada di pedalaman Papua dan pedalaman
pulau Timor yang bahasanya lebih mirip dengan bahasa pedalaman Australia,”
katanya.
Bahasa Indonesia sekarang ini, kata Harry lagi, sudah sangat
kompleks karena penuturnya tidak hanya hidup dengan sukunya masing-masing dan
beradaptasi dengan rumpun bahasa dunia lainnya seperti dari India, Arab,
Portugis, Belanda dan Inggris.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar