BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alam semesta adalah fana.Pengertian dari alam semesta adalah
ruang dimana di dalamnya terdapat kehidupan biotik maupun abiotik serta segala
macam peristiwa alam yang dapat diungkapkan maupun yang belum dapat diungkapkan
oleh manusia.
Ada penciptaan, proses dari ketia-daan menjadi ada, dan
akhirnya hancur.Di antaranya ada pen-ciptaan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Di sana berlang-sung pula ribuan, bahkan jutaan proses fisika, kimia, biologi
dan proses-proses lain yang tak diketahui. Sebenarnya seluruh kejadian di alam
semesta ini, sudah terjadi dan kejadiannya mengikuti segala rencana dan konsep
yang sudah tertera di dalam Al Qur’an. Gambaran jelasnya, bahwa semua proses
alam semesta ini mengikuti dan mengekor pada segala yang tertuang dalam Al
Qur’an, apakah diketahui atau tidak tabir rahasianya oleh manusia.
Begitu pula dengan
tercitanya manusia sama halnya dengan terciptanya alam semesta. Manusia
dicitakan dan kemudian akan kembali lagi dimusnahkan. Manusia diciptaka didunia
memiliki dua tujuan yaitu yang pertama yaitu untuk mengabdi dan menyembah ALLAH
SWT seutuhnya, dan sebagai khalifah dimuka bumi ini.
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah
mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur)
potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan
aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks,
berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak
terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak
akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat
instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman
keras, atau menggunakan narkoba.
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Maka dari itu kami disini memiliki keinginan untuk
melakukan penelitian dalam rangka untuk memenuhi tugas dari Dosen. Yang akan
mengangkat judul tentang Manusia, Alam Semesta, dan Agama. Karena dalam kehidupan dimasa
sekarang sudah banyak yang salah faham tentang ketiga hal tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana Pandangan islam tentang alam semesta?
1.2.2
Bagaimana pandangan manusia menurut islam?
1.2.3.
Bagaimana hubungan antara manusia dengan agama?
1.3 Tujuan Makalah
Tujuan Penulisan Makalah Sejalan
dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk : 1.
Memahami bahwasanya segala sesuatu yang tercipta, benda hidup maupun mati,
nyata ataupun tidak, semuanya adalah milik Allah semata yang pada akhirnya
semuanya akan kembali kepada-Nya. 2. Memahami hakikat asal usul dan fitrah
manusia. 3. Untuk mengaplikasikan keterkaitan manusia dengan agamanya.
1.4.
Manfaat Makalah
Manfaat penulisan makalah ini untuk menambah wawasan tentang manusia, alam
semesta dan agama demi terwujudnya kehidupan yang hakiki. Dan menjadi panduan
pengetahuan untuk dikembangkan kembali.
BAB II
PEMBAHASAN
2.Pandangan islam tentang alam
semesta
2.1 Pengertian Alam Semesta
Alam
adalah segala sesuatu yang ada atau yang dianggap ada oleh manusia di dunia ini
selain Allah beserta Dzat dan sifat-Nya. Alam dapat dibedakan mrnjadi beberapa
jenis, diantaranya adalah alam ghoib dan alam syahadah. Alam syahadah dalam
istilah Inggris disebut universe yang artinya seluruhnya, yang dalam bahasa
sehari-hari disebut sebagi alam semesta. Alam semesta merupakan ciptaan Allah
yang diurus dengan kehendak dan perhatian Allah. Allah menciptakan alam semesta
ini dengan susunan yang teratur dalam aspek biologi, fisika, kimia, dan geologi
beserta semua kaidah sains. Definisi dari alam semesta itu sendiri adalah
segala sesuatu yang ada pada diri manusia dan di luar dirinya yang merupakan
suatu kesatuan system yang unik dan misterius. Alam syahadah atau alam materi
sering juga disebut dengan alam fisik karene alam syahadah merupakan alam yang
dapat dicapai oleh indera manusia baik dengan menggunakan alat atau tidak,
berbeda dengan alam ghoib yang tidak dapat tercapai oleh indera. Alam syahadah
dapat dibedakan menjadi alam raya (makrokosmos) dan alam zarrah (mikrokosmos).
Dan dapat pula dibedakan menjadi alam nabati, hewani, dan insani Al Quran
menggambarkan alam semesta laksana sebuah kitab yang disusun oleh satu wujud
yang arif, yang setiap baris dan katanya merupakan tanda kearifan penulisnya.
²Dalam islam,alam semesta harus
diyakini sebagai ciptaan Allah. Alam semesta beserta segala sesuatu yang hendak
diciptakan Allah. Tercipta sekedar dengan firman-Nya : “Jadilah!” oleh karena
itu Allah adalah pemilik mutlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta yang
tidak dapat disangkal di samping pemeliharaanya yang maha pengasih”.
2.2 Penciptaan
Alam Semesta
a.
Menurut Al Quran
Menurut
pandangan Al Quran, penciptaan alam semesta dapat dilihat pada surat Al Anbiya
ayat 30.
يُؤْمِنُونَ
أَفَلَا ۖ حَيٍّ شَيْءٍ كُلَّ الْمَاءِ مِنَ وَجَعَلْنَا ۖ هُمَا فَفَتَقْنَا رَتْقًا
كَانَتَا وَالْأَرْضَ السَّمَاوَاتِ أَنَّ كَفَرُوا الَّذِينَ يَرَ أَوَلَمْ
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak
mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang
padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Menurut
ayat di atas dikatakan bahwa langit dan bumi dahulunya merupakan satu kesatuan
yang padu.
“Kemudian Dia menuju langit dan
langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi,
“ Datanglah kamu keduanya menuruti perintah-Ku dengan suka hati atau
terpaksa”. Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati”
“ Maka Dia menjadikannya 7 langit
dalam 2 masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi
langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya
dengan sebaik-baiknya`” ( Fushshilat 11-12)
Surat
ini menerangkan bahwa yang pertama kali Allah ciptakan sebelum ada
bintang-bintang dan galaksi, adalah bumi, kemudian Allah swt siapkan makanan di
bumi bagi subject utama penciptaan alam semesta , yaitu manusia. Baru setelah
itu Allah ciptakan langit dan bintang-bintang dalam enam masa. Seperti
diterangkan dalam Surat Al A’raf ayat 54, alam semesta ini diciptakan selama 6
masa.
Sesungguhnya
Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan
bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam.
Bumi
sebelumnya adalah planet yang mati dan Allah menghidupkannya dengan menu-runkan
air dari langit.
“ Dan Allah menurunkan dari
langit air dan dengan air itu dihidupkannya bumi sesudah matinya.”. (QS`An
Nahl ; 65). Pertanyaannya adalah darimana air ini berasal ? Padahal waktu itu
belum ada awan yang bisa menghasilkan hujan, belum ada langit yang bisa menahan
uap air. Maka satu-satunya kemungkinan asal air adalah dari Arasynya Allah.
“ Dan Kami turunkan air dari
langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan
sesungguhnya Kami benar-benar kuasa menghilangkannya.”( QS Al-
Mu’minun ; 18 )
Perhatikan kalimat “lalu Kami
jadikan air itu menetap di bumi” , ini menerangkan bahwa air bukanlah
pemukim asli bumi tetapi pendatang (alien).
“ ……….Dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup, Maka mengapakah mereka tiada juga beriman “ (
QS. Al-Anbiya ;30 ).
“ …. Maka Kami tumbuhkan dengan
air itu berjenis-jenis tumbuhan yang bermacam-macam “ ( QS Tha Ha ; 53)
“ Dan Allah telah menciptakan
semua jenis hewan dari air … (QS An Nur ; 45).
Ketiga
ayat tersebut makin menjelaskan kepada kita bahwa setelah air diturunkan ke
bumi, maka sebelum Allah ciptakan hewan , tentunya yang terlebih dahulu
Allah cipakan adalah tumbuh-tumbuhan sebagai cadangan makanan hewan. Kemudian
hewan-hewan ada juga yang menjadi cadangan makanan untuk hewan-hewan predator.
Semua jenis hewan, baik burung maupun hewan darat, ternyata menurut ilmu
pengetahuan memang asal-usulnya dari hewan air.
Misteri
berikutnya adalah dikatakan dalam Al Qur’an bahwa langit dan bumi dulunya
adalah suatu yang padu. Jadi bukan bumi dan bintang-bintang yang dulunya
sesuatu yang padu.
“ ………bahwasanya langit dan bumi
itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara
keduanya……. “ ( QS. Al-Anbiya ;30 ).
Selanjutnya
Allah swt katakan menciptakan langit dari asap (lihat kembali surat Al Fushilat
ayat 11). Bumi, sebelum Allah swt hidupkan dengan menurunkan air dari langit,
pada mulanya adalah sebuah bola api yang sangat panas. Ilmu pengetahuanpun
mengakui hal tersebut. Tetapi tanpa perlu pembuktian, kita tahu bahwa perut
bumi masih mengandung lumpur dan lahar yang sangat panas sampai saat ini.
Sebuah benda yang panas, seperti sebatang besi yang membara misalnya, apabila
disiram air akan menyebabkan munculnya asap dan uap air. Demikian juga dengan
bola panas bumi pada waktu air diturunkan maka dia mengeluarkan asap dan uap
air. Apa bedanya asap dengan uap air ? Asap bersifat adhesive (mengikat)
sedangkan uap bersifat kohesip (tidak mengikat). Asap dari bumi inilah yang
kemudian Allah swt ciptakan menjadi langit yang tujuh lapis. Kemudian dalam
tempurung langit yang pertama Allah ciptakan bintang-bintang. Darimana Allah
swt ciptakan bintang-bintang. Wallahu a’lam, tidak ada penjelasan dalam Al
Qur’an. Allah swt Kuasa menciptakan segala sesuatunya dari yang tiada menjadi
ada.
2.3 Tujuan
Penciptaan Alam
Pada
hakekatnya segala sesuatu yang tercipta, benda hidup maupun mati, nyata ataupun
tidak, semuanya adalah milik Allah semata yang pada akhirnya semuanya akan
kembali kepada-Nya. Baik secara suka atau terpaksa, segala alam yang ada itu
menjadi tunduk dan patuh pada hukum dan ketetapan Allah.
Hanya
karena sifat kasih dan saying dari Allah maka manusia yangi ciptakan adalah
diberi tugas sebagai kholifah di bumi ini bertugas untuk megelola,
membudayakan, memanfaatkan dan melestarikan alam. Tugas tersebut diberikan
kepada manusia karena Allah menciptakn manusia sebagai makhluk yang terbaik,
seperti yang disebutkan dalam surat At Tiin ayat 4. Manusia di dalam
kehidupannya di dunia dibekali oleh Allah dengan potensi dasar. Potensi dasar
itu dapat nampak dan dilihat dalam jiwa, raga, tubuh, dan ruh.
Dari
potensi dasar manusia yang berupa akal yang bias melahirkan daya berfikir dan
daya nalar, akhirnya manusia dapat menundukkan, menguasai, dan memanfaatkan
alam. Dengan akal itu pula manusia dapat mengamati, meneliti, menganalisis
gejala-gejala alam yang timbul, dan menguasai rahasia-rahasianya. Sehingga pada
puncak penelitian dan penemuannya itu, akan wujud dan keagungan Allah sebagai
penciptanya.
Dengan
demikian, tujuan alam diciptakan adalah bukan untuk dirusak, dicemari, dan
dihancurkan. Akan tetapi adalah untuk difungsikan semaksimal mungkin dalam
kehidupan. Tujuan alam diciptakan juga bukan untuk disembah, dikultuskan,
dan dimintai pertolongan. Akan tetapi adalah untuk dikelola, dibudidayakan, dan
dimanfaatkan dalam kehidupan. Pada akhirnya alam diciptakan hanya sebagai
fasilitas semata bagi manusia untuk mengenal dan lebih mendekatkan diri pada
Allah.
Pada
intinya, Allah menciptakan alm semesta beserta isinya dilengkapi dengan
hukum-hukum (sunnatullah). Dan jika hukum-hukum tersebut dilanggar, maka alam
akan hancur. Itulah hakikat sunnatullah yang telah ditentukan oleh Dzat Yang
Maha Tinggi sebagai Sang Pencipta, Pengatur dan tempat kembali seluruh alam.
3.Pandangan
islam terhadap manusia
²Manusia merunut
pandangan islam adalah makluk mulia dan terhormat disisi tuhan. Manusia
diciptakan dalam bentuk yang amat baik . kecuali ia memiliki insting (naluri)
vegetative dan melakukan pengindraan sebagaimana hewan, ia juga memiliki
sesuatu yang tidak dimiliki oleh hewan dan tumbuhan yaitu akal”.
Manusia memiliki jiwa yang bersifat
rohaniah, gaib, tidak dapat ditangkapdengan panca indera yang berbeda dengan
makhluk lain, karena pada manusia terdapatdaya berfikir, akal, nafsu, kalbu,
yang kadang-kadang disebut dengan jiwa, ruh,soul ,mind , dan sebagainya. Manusia adalah
makhluk Allah s.w.t. yang memilki unsur dandaya
materi, yang memiliki jiwa dengan ciri-ciri berfikir,berakal, dan
bertanggung jawab pada Allah s.w.t. yang diciptakan dengan memiliki akhlak,yang
meneladani akhlak Allah s.w.t. dalam kadar yang amat rendah(yatakhallaqu bi
akhlaqillah).Manusia diciptakan Allah
s.w.t. dalam arti
Majazi
bukan hakekat.Manusia merupakan makhluk
yang sempurna dan mulia. Manusia merupakanmakhluk yang unik, sebagai makhluk
yang paling sempurna, baik kejadian fisiknya maupun rohaniahnya. Selain sebagai
makhluk[8]
yang paling sempurna manusia juga dijadikan
Allah s.w.t. sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan dan keluhuran.Sebagai
makhluk yang paling sempurna, manusia dimintai pertanggunjawabanterhadap amanah
yang diberikan padanya untuk mengelola alam semesta bagikesejahteraan semua
makhluk.Setiap manusia menurut pandangan I[9]slam
adalahpemimpin, sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Setiap pemimpin
bertanggungjawab terhadap apa yang dipimpinnya, baik lahir maupun batin, di
dunia maupun diakhirat.
3.1
Fitrah Manusia
Berdasarkan
pemahaman di atas serta merujuk al-Quran dan al-Hadits, fitrah manusia menurut
ajaran Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Manusia adalah makhluk
psiko-fisik yang memiliki jiwa dan tubuh. Dari berbagai ayat al-Quran dapat
diketahui bahwa jati diri manusia adalah makhluk psiko-fisik, yaitu suatu
makhluk yang eksistensinya terdiri atas unsur jiwa (ruh) dan fisik (jasad).
Gabungan kedua unsur inilah yang mewujud menjadi manusia. Di antara ayat yang
mendukung pernyataan ini ialah:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ
مَسْنُونٍ
Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari
lumpur hitam yang diberi bentuk, (Al-hijr:28)
ثُمَّ
جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ
Kemudian
ia menjadikan keturannya dari saripati air yang hina (air mani).
(Qs.as-sajadah:8)
Ayat-ayat
ini menegaskan bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah (thin).
Kemudian generasi selanjutnya berkembang biak dengan unsur sulalat min ma`
mahin, air mani. Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki unsur fisik. Di
samping itu, Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam unsur fisik tersebut. Setelah
bentuk fisik diisi dengan ruh, terbentuklah suatu jenis makhluk yang khas,
yaitu manusia. Keberadaan kedua unsur ini, fisik dan ruh, meniscayakan
keberadaan sifat-sifat keduanya pada manusia di samping sifat-sifat yang timbul
dari gabungan keduanya.
2. Sifat-sifat jasmani (al-fithrat al-jismiah)
Tubuh
manusia merupakan alam materi yang memiliki sifat-sifat fisika. Ia tersusun
dari 4 unsur yang membentuk alam materi, yaitu tanah, air, udara, dan api. Para
filosof Muslim, seperti Ikhwan al-Shafa` mengemukakan bahwa perimbangan
komposisi keempat unsur ini ikut mempengaruhi sifat-sifat manusia.[14]
Tubuh
manusia terdiri atas bagian-bagian dan anggota-anggota yang masing-masing
mempunyai tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. Penataan masing-masing bagian
dan anggota ini sangat proporsional sehingga semuanya dapat memberikan andil
yang optimal bagi kesempurnaan fisik manusia serta fungsionalisasi dari
masing-masing bagiannya. Kenyataan inilah yang digambarkan al-Quran surah
al-Tin ayat 4 yang berbunyi: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang terbaik (fi ahsani taqwim).
Bentuk dan tatanan bagian dan anggota fisik manusia dirancang
sedemikian rupa agar manusia dapat melakukan berbagai aktivitas yang dibebankan
kepadanya. Hanya saja, ketika manusia diciptakan (dilahirkan), kondisi dari
masing-masing bagian ini masih dalam keadaan lemah dan bersifat potensial. Hal
ini dapat diketahui dari al-Quran surah al-Rum ayat 54 sbb:
Allah,
Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya
dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (Qs.al-rum ayat 54)
3.
Sifat-sifat Jiwa (al-fithrat al-ruhiyyat)Jiwa merupakan inti hakikat
manusia. Unsur inilah yang mendapat tugas sebagai khalifah Allah di bumi. Unsur
ini pula yang bertanggung jawab atas segala tingkah laku dan perbuatan
manusia.Dalam hal ini Alquran menjelaskan:Surat Al-Baqarah ayat [30]
قال الله تعالى :وَإِذْ قَالَ
رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلُُ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ {30}
“ Ingatlah
ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat:”Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:”Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau”. Rabb berfirman:’Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui’ “. (QS. 2:30)
Makna
secara umum:
Allah Ta’ala
memerintahkan Rasul-Nya agar mengingat firman-Nya kepada para malaikat (yaitu):
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” yang akan
menggantikan-Nya dalam menjalankan hukum-hukum-Nya di muka bumi. Para malaikat
ketika itu, bertanya-tanya * karena khawatir yang menjadi khalifah ini adalah
orang-orang yang akan menumpahkan darah dan membuat kerusakan di muka bumi,
yaitu berupa kekufuran dan perbuatan maksiat. Hal ini sebagai perbandingan
terhadap makhluk jin (sebelumnya) yang memang terjadi terhadap mereka apa yang
dikhawatirkan tersebut. Lalu Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia Maha
Mengetahui hikmah-hikmah dan mashalahat-mashlahat (yang ada dibalik itu), suatu
hal yang tidak mereka ketahui.
Di dalam al-Quran dinyatakan bahwa jiwa
manusia berasal dari ruh Tuhan (min ruhih)[17]
Di samping itu, para ulama juga menyimpulkan bahwa unsur ini pula yang telah
melakukan perjanjian dengan sang Pencipta sebelum ia digabungkan dengan tubuh.
Berdasar ini semua, tentu saja tidak mungkin manusia diciptakan dalam keadaan
sesat dan berdosa seperti dipahami sebagian orang.
Itu pula sebabnya sebagian pakar
berpendapt bahwa manusia diciptakan dalam keadaan bertauhid, Islam, dan suci.
Akan tetapi, pendapat ini hanya benar sepanjang manusia hanya dilihat dari sisi
ruh asalnya. Para pemikir Muslim sepakat bahwa makhluk yang bernama manusia
tidak hanya terdiri atas ruh semata, melainkan juga ada unsur fisik. Kondisi
ruh ketika anak manusia dilahirkan, setelah bergabung dengan tubuh, tidak
memiliki kesadaran akan amanah dan janjinya itu. Unifikasinya dengan tubuh
material mengakibatkan ruh terhalang untuk mengetahui dan menyadari janjinya
dengan Tuhan.
4.
Sifat-sifat Psiko-Fisik (al-fithrat al-nafsaniyyat)
Yang
dimaksud dengan nafs (diri) adalah suatu hakikat yang terbentuk setelah
unifikasi unsur fisik dan jiwa. Nafs tidak sama dengan ruh yang menjadi
rahasia kehidupan dan juga tidak sama dengan jasad (tubuh)material yang bisa
diobservasi.[19]
Dengan
demikian fitrah nafsaniah adalah keadaan dan sifat dari gabungan ruh dan
fisik.Ia bukan merupakan keadaan dan sifat unsur ruh semata seperti yang telah
dikemukakan di atas, melainkan keadaan dan sifat ruh yang telah menyatu dengan
tubuh. Juga bukan keadaan dan sifat unsur fisik semata, tetapi kondisi dan
sifat unsur fisik yang telah dimasuki ruh.
a.
Lemah. Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik maupun psikis
sebagaimana
dijelaskan dalam alquran sbb:إِنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا ¤ إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا ¤
وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا ¤ إِلا الْمُصَلِّينَ ¤ الَّذِينَ هُمْ عَلَى
صَلاتِهِمْ دَائِمُونَ ¤ وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ ¤
لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ ¤ وَالَّذِينَ يُصَدِّقـــُونَ بِيَوْمِ الد ِّيــن ¤
ِ وَالَّذِينَ هُمْ مِنْ عَذَابِرَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ ¤
“ Sesungguhnya manusia diciptakan
bersifat keluh kesah lagi kikir.Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah,dan apabila ia
mendapat kebaikan ia amat kikir,kecuali
orang-orang yang mengerjakan salat,yang mereka itu tetap mengerjakan
salatnya,dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu
bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai
apa-apa (yang tidak mau meminta),dan orang-orang yang mempercayai
hari pembalasan,dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya.
( Q.S Al Ma’arij ; 19-27 )
Pada ayat ini
ditegaskan bahwa manusia itu bersifat suka berkeluh kesah dan kikir. Namun,
sifat ini dapat diubah jika dituruti petunjuk Tuhan yang dinyatakan-Nya.
b.
Memiliki potensi untuk melakukan berbagai pekerjaan fisik. Meskipun manusia
terlahir dalam keadaan lemah, tidak berdaya sama sekali[21],
namun ia dapat tumbuh menjadi kuat untuk melakukan bermacam-macam tindakan fisik
setelah melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Tuntutan agar manusia
mewujudkan kemakmuran di bumi dan tidak melakukan kerusakan menunjukkan bahwa
manusia dapat melakukan tindakan-tindakan positif atau negatif.
c.
Bodoh dalam pengertian tidak memiliki pengetahuan tentang apa pun. Al-Quran
menegaskan: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, ” (Q.S al-Ahzab
: 72)
d.
Memiliki potensi untuk berpengetahuan. Seiring dengan pernyataan di atas,
manusia diciptakan dalam keadaan berpotensi untuk berpengetahuan. Ada 3
perangkat yang diberikan Allah untuk keperluan itu, yaitu: pendengaran (al-sam’),
penglihatan (al-bashar), dan jantung-hati (al-af`idat).
e.
Memiliki kebebasan dalam bertindak dan bersikap. Manusia lahir dengan potensi
yang memungkinkan ia dapat menentukan pilihan terhadap semua tindakan yang akan
dilakukannya. Manusia diberi kebebasan untuk memilih apakah ia akan menjadi
beriman atau kafir.
f.
Bersifat netral dalam arti berpotensi untuk menjadi baik dan jahat karena ke
dalam diri manusia telah diilhamkan potensi kejahatan (fujur) dan
potensi ketakwaan. Dalam hal ini, al-Quran menyatakan: ( الشمس 7 - 8 )
Allah
menciptakan manusia untuk menjadi khalifah-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa
manusia pasti berpotensi untuk menjadi baik. Akan tetapi, perlu pula diingat
bahwa di balik itu, manusia juga berpotensi untuk menjadi jahat. Unsur fisik
yang senantiasa berada dalam keadaan al-kawn wa al-fasad berpotensi
untuk mendominasi unsur jiwa yang bersifat ilahi. Bila unsur fisik dominan,
niscaya kejahatan menjadi aktual. Idealnya, unsur jiwa mesti dominan atas unsur
fisik.
Seiring dengan keterangan ini, pemaknaan
fitrah dengan potensi apalagi potensi baik, lagi-lagi, kurang
tepat. Fitrah berarti bersifat potensial, yaitu potensial untuk menjadi baik
maupun menjadi tidak baik.
4. Hubungan manusia
dengan agamanya
4.1 Pengertian
agama
Agama menurut bahasa sangsakerta, agama berarti tidak kacau
(a = tidak gama = kacau) dengan kata lain, agama merupakan tuntunan hidup yang
dapat membebaskan manusia dari kekacauan. Didunia barat terdapat suatu istilah
umum untuk pengertian agama ini, yaitu : religi, religie, religion[3], yang
berarti melakukan suatu perbuatan dengan penuh penderitaan atau mati-matian,
perbuatan ini berupa usaha atau sejenis peribadatan yang dilakukan
berulang-ulang. Istilah lain bagi agama ini yang berasal dari bahasa arab,
yaitu addiin yang berarti : hukum, perhitungan, kerajaan, kekuasaan, tuntutan,
keputusan, dan pembalasan. Kesemuanya itu memberikan gambaran bahwa “addiin”
merupakan pengabdian dan penyerahan, mutlak dari seorang hamba kepada Tuhan
penciptanya dengan upacara dan tingkah laku tertentu, sebagai manifestasi
ketaatan tersebut (Moh. Syafaat, 1965)[4].
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Kata
"agama" berasal dari bahasa Sansekertaāgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain
untuk menyatakan konsep ini adalah religi
yang berasal dari bahasa Latinreligio dan berakar pada kata kerjare-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya
dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Berdasarkan
cara beragamanya :
1.
Tradisional, yaitu cara
beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang,
leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam
beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi
bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan
ilmu amal keagamaanya.
2.
Formal, yaitu cara
beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau
masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang
berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam
beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau
masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika
memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat
meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang
mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3.
Rasional, yaitu cara
beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu
berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan
pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional
atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4.
Metode
Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan
hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan
menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah).
Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu
agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya
semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar
(berpegang teguh) dengan itu semua.
2. Konsepsi Agama
Dalam
Al-Qur’an Surat Al-Bakoroh 208, Allah berfirman : yang artinya:
“Hai orang-orang
yang beriman masuklah kamu kedalam islam secara utuh, keseluruhan (jangan
sebagian-sebagaian) dan jangan kamu mengikuti langkah setan, sesunggungnya
setan itu musuh yang nyata bagimu.[6]”
Kekaffahan
beragama itu telah di contohkan oleh Rosulullah sebagai uswah hasanah bagi umat
islam dalam berbagai aktifitas kehidupannya, dari mulai masalah-masalah
sederhana (seperti adab masuk WC) samapi kepada masalah-masalah komplek
(mengurus Negara). Beliu telah menampilkan wujud islam itu dalam sikap dan
prilakunya dimanapun dan kapanpun beliu adalah orang yang paling utama dan
sempurna dalam mengamalkan ibadah mahdlah (habluminallah) dan ghair mahdlah
(hablumminanas)[7].
Meskipun
beliau sudah mendapat jaminan maghfiroh (ampunan dari dosa-dosa) dan masuk surga,
tetapi justru beliau semakin meningkatkan amal ibadahnya yang wajib dan sunah
seperti shalat tahajud, zdikir, dan beristigfar[8]. Begitupun dalam
berinteraksi sosial dengan sesama manusia beliu menampilkan sosok pribadi yang
sangat agung dan mulia.
Kita
sebagai umat islam belum semuanya beruswah kepada Rasulullah secara
sungguh-sungguh, karena mungkin kekurang pahaman kita akan nilai-nilai islam
atau karena sudah terkontaminasi oleh nilai, pendapat, atau idiologi lain yang
bersebrangan dengan nilai-nilai islam itu sendiri yang di contohkan oleh
Rasulullah SAW.
Diantara
umat islam masih banyak yang menampilkan sikap dan prilakunya yang tidak
selaras, sesuai dengan nila-nilai islam sebagai agama yang dianutnya[9]. Dalam
kehidupan sehari-hari sering ditemukan kejadian atau peristiwa baik yang kita
lihat sendiri atau melalui media masa mengenai contoh-contoh ketidak
konsistenan (tidak istikomah) orang islam dalam mempedomani islam sebagai
agamanya.
4.2 manusia
manusia adalah makhluk yang berakal budi (mampu
menguasai makhluk lain); insan; orang: sbg
biasa, ia bisa juga khilaf; dan tugas manusia adalah beribadah serta
menjadi pemimpin, hal ini tertera dengan pendekatan secara islami, karena
berlandasakan aturan dah hukum yang telah ada dalam kitabnya yaitu Al-quran.
Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna di dunia
ini. Hal ini, seperti yang dikatakan Ibnu'Arabi manusia bukan saja karena
merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi
juga karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan) asma dan
sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.Allah menjadikan Adam (manusia)
sesuai dengan citra-Nya. Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian
Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan
Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku” (QS. 15: 29)
tiupkan kepadanya ruh-Ku” (QS. 15: 29)
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat,
perkakas atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada
hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakandari unsur-unsur materi, akan
tetapi rohani yang berada dalamdirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan para sufi
dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal
(al-'aql) dan hati nurani atau jantung (al-qalb).
1. RUH DAN JIWA (AL-RUH
DAN AL-NAFS)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan
jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai
alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur
materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat
Ilahi
dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci. Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.
dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci. Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami
yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani,
disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya
untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau
al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan
hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakekat, ia dapat mengetahui
hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya. Karena pada diri
manusia tidak hanya memiliki jiwa insane (berpikir), tetapi juga jiwa nabati
dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya
sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai
sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya. Apabila jiwa menyerah dan patuh
pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa
itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat
jahat. Firman Allah,
"Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu
menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan
sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela
manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada
Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya:
"Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu
mencela." (QS. 75:2).
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua
sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan,
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu
dengan rasa puas lagi diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan
masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang
telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan
perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat
kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa
muthmainnah inilah yang telah dijamin Allah langsung masuk surga. Jiwa
muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat
Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu
sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen.
Allah sampaikan,
"Demi jiwa
serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan
ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik,
karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.
2. AKAL
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos
atau intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang
terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs
nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal.
Sedangkan yang ada pada hati (jantung) didada disebut rasa (dzauq). Karena itu
ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan
pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai
tingkatan tertinggi akal perolehan (akal mustafad) ia dapat mengetahui
kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan
jiwanya kekal dalam kebahagiaan (Jannah). Namun, jika akal yang telah mengenal
kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang
demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka). Adapun akal yang tidak
sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang
demikian akan hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena
kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan
akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika
akan sampai ketingkat akal perolehan.
3. HATI SUKMA (QALB)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.
Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau
sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang
sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan
terletak didada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian
kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa
lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam
arti yang halus, hati-nurani daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada
hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa
(dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam
kaitan ini Allah berfirman,
"Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan
sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu jiwa
yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara
mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh
melalui pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya
berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai
wadah atau sumber ma'rifat suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal
ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan
menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang
tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara'
serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya
dalam hati, sehingga ia dapat menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan
mencapai pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat
terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang
kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat
hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan
membuat hilangnya kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari
penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya berkembang banyak dan
akan berubah menjadi hati dhulmani hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah)
ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya,
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang
yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS.
91:8-9).
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan
adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati
nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah
serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat
hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah
Swt. Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada
seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku,
tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal
yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan
menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah
adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan
beribadat, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi. Hati
atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati
dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa
nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan
hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.
Tujuan
penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai pencipta alam
semesta. Allah sendiri yang mencipta dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk
beribadah kepada-Nya, juga menurunkan panduan agar dapat beribadah dengan
benar. Panduan tersebut diturunkan Allah melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya,
dari Adam AS hingga Muhammad SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul tersebut hanya
menerima Allah sebagai Tuhan mereka dan Islam sebagai panduan kehidupan mereka.
Beribadah diartikan secara luas meliputi seluruh hal dalam kehidupan yang
ditujukan hanya kepada Allah. Kita meyakini bahwa hanya Islamlah panduan bagi
manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Islam telah mengatur berbagai
perihal dalam kehidupan manusia. Islam merupakan sistem hidup, bukan sekedar
agama yang mengatur ibadah ritual belaka.
Sayangnya,
pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak memahami hal ini. Mereka memahami
ajaran Islam sebagaimana para penganut agama lain memahami ajaran agama mereka
masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya berlaku di tempat-tempat ibadah
dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut biasanya disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya gerakan
pembaruan di Eropa yang fikenal sebagai Renaissance
dan Humanisme, sebagai
reaksi masyarakat yang dikekang oleh kaum gereja pada masa abad pertengahan
atau Dark Ages, kaum gereja
mendirikan mahkamah inkuisisi yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan,
cendikiawan, serta pembaharu. Setelah itu, pada masa Renaissance, masyarakat menilai bahwa Tuhan hanya berkuasa di
gereja , sedangkan di luar itu masyarakat dan rajalah yang berkuasa. Paham dikotomis ini kemudian dibawa ke Asia
melalui penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa; Kedua, masih adanya
ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan syariat-syariat Islam, tidak
dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal selama tidak
melanggar Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat
selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan
masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat
Islam dan menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari
syariat Islam.
Paham
dikotomis melalui sekularisme tersebut antara lain dipengaruhi terutama oleh
pemikiran August Comte melalui bukunya Course
de la Philosophie Positive (1842) mengemukakan bahwa sepanjang sejarah
pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap: (1) tahap teologik, (2) tahap
metafisik, dan (3) tahap positif; pemikiran tersebut melahirkan filsafat positivisme yang mempengaruhi ilmu
pengetahuan sosial dan humaniora, melalui
sekularisme. Namun teori tersebut tidaklah
benar, sebab perkembangan pemikiran manusia tidaklah demikian, seperti
pada zaman modern ini (tahap ketiga), manusia masih tetap percaya pada Tuhan
dan metafisika, bahkan kembali kepada spiritualisme.
Sejarah
umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan mengenyampingkan agama dan
mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis dan
malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada
agama, karena: (1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali pada
agama sebagai pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2) harapan manusia pada
otak manusia untuk memecahkan segala masalah di masa lalu tidak terwujud.
Kemajuan
ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada tingkat kesejahteraan yang lebih
tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada kehidupan
manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk dapat mengendalikan hal tersebut
diperlukan agama, untuk diarahkan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat
manusia.
²Era
gelobalisasi, dewasa ini dan dimasa datang, sedang dan terus memengarui
perkembangan social budayamasyarakat mslim Indonesia umumnya. Argument panjang
lebar tidak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak dapat
mengindari diri dari proses globalisasi tersebut, apabila jika ingin survive
dan Berjaya ditengah perkembangan dunia yang kian kompetitif dimasa kini dan
abad ke-21.
Gelobalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru
sama sekali agi masyarakat muslim Indonesia. Pembentukan dan perkembangan
masyarakat muslim Indonesia bahkan bebarengan dengan datangnya berbagai
globalisasi secara knstan dari waktu kewaktu. Yang biasanya sumber-sumber
globalisasi itu adalah budaya timur tengah. Oleh karena itu globalisasi ini
bersifat religio intelektual, meski dalam kurun-kurun waktu ini juga diwarnai dengan
semangat religio-politik.
Tetapi, globalisasi yang berlangsung
sekarang dan yang melada masyarakat muslim Indonesia sekarang menampilkan
sumber yang berbeda yaitu dari budaya Barat. Dominasi budaya barat sangat
berkembang pesat dalam dunia perkembangan, pembangunan dan sumberdaya manusia
masyarakat muslim di Indonesia.
Tetapi gelombang globalisasi dimasa
ini dan dimasa yang akan datang tidak hanya menampilkan tantangan. Melaikan
memberikan peluang penting bagi masyarakat Indonesia. Misalnya dalam bidang
ekonomi dan pembangunan, secara seknifikan dalam kehidupan social ekonomi
bangsa Indonesia, yang pada giliranya mendorong intensitar tertentu dalam
kehidupan keberagaman.
Namun, meskipun demikian bangsa
Indonesia harus berhati-hati dengan budaya barat. Karena kehadiran budaya barat
selain memberikan keuntungan yang begitu besar, budaya barat sangat merugikan
bagi bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia pada umunya yanitu
bangsa yang memliki sifat agamis.
Meski sifat agamins bangsa Indonesia
dalam tingkat yang lebih besar tidak mengalami pengikisan karena “sekularasi”
dalam dalam proses transformasi social budaya yan berlangsung selama ini
melalui pembangunan. Hal ini juga dikarenakan oleh peningkatan antusiasme
keberagaman pendidikan islam. Seperti bnyaknya pesantren yang ada di setiap
daerah Indonesia.
²Pesantren
memiliki rugas pokok yang paling penting yaitu mewujutkan manusia dan
masyarakat muslim Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada ALLAH SWT. Dalam
dewasa ini tugas dar pesantren bukanlah hanya itu melaikan dapat melakukan
produksi ulama’. Karena di zaman sekarang bangsa Indonesia sudah sangat kurang
ulama’nya”.
Meski perkembangan fisik bangunan
pesantren juga mengalami kemajuan yang sangat pesat. Seperti pesantren yang ada
di wilayah-wilayah urban maupun dipedesaan, mempunai gedung atau banguna yang
pemanen, dan lebih penting lagi sehat kondusif sebagai tempat berlangsungnya
pendidikan yang baik. Namun dalam pemikiran orang tua dimasa sekarang sangat
lah menyimpang dengan keadaan yang ada. Mereka berfikirkan bahwasannya
pesantren suatu lembaga yag kurang baik, baik dari seg fisik maupun non fisik.
Persoalanya kemudian, sejauh manakan
kita dapat secara jernih dan jujur dapat memahami bahwasanya pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang memiliki multiguna. Selain sebagai pendidikan
agama (pendidikan yang bertujuan kita hidup nanti diakhirat) dan pendidikan
umum (pendidikan yang bertujuan dengan hidup kita didunia). Berbeda dengan
lembaga pendidikan yang lain. Yang mengajarkan tentang pendidikan yang ada di
dunia saja. Bahkan sudah jelas bahwasanya kita hidup ini bukan hanya didunia
saja melaikan di akhirat nanti yang akan abadi.
BAB III
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Dari makalah yang telah kami
susun dapat disimpulkan menjadi 3 bagian, diantaranya:
a.
Allah menciptakan manusia dari tanah, lalu
ditiupkan ruhnya, lalu ditunjuk Allah sebagai khalifah fil ardhi. Dengan
kedudukan sebagai khalifah inilah manusia diminta laporan pertanggungjawabannya
oleh Allah dalam mengatur dan memeliharaalam semesta. Dalam mengatur alam ini
untuk kesejahteraan hidupnya, manusia diberi akal oleh Allah. Keseluruhan hidup
manusia ditujukan semata-mata untuk menyembah Allah.
b. Dalam islam,alam semesta harus
diyakini sebagai ciptaan Allah. Alam semesta beserta segala sesuatu yang hendak
diciptakan Allah. Tercipta sekedar dengan firman-Nya : “Jadilah!” oleh karena
itu Allah adalah pemilik mutlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta
yang tidak dapat disangkal di samping pemeliharaanya yang maha pengasih.
c.
Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus
dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini berasal dari kekuatan yang lebih
tinggi dari manusia dan mempunyai pengaru besar terhadap kehidupan manusia
sehari-hari.
Dari ketiga bagian tersebut dapat disimpulkan bahwa agama
sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan hidup sehingga ilmu dapat
menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Agama Islam adalah
agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya memahami
ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam
semesta dan ayat-ayat qur’aniyah
yang terdapat dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan
ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih
bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
5.2
Saran
Untuk mencapai kesempurnaan makalah ini , kami
mengharap saran-saran yang membangun.
DAFTAR
PUSTAKA
Kaelany,2000. Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan ,
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Aminuddin
dkk, 2002. Pendidikan Agama Islam untuk
Perguruan Tinggi Umum , Jakarta:Ghalia Indonesia.
Azra,
Azyumardi, 2012. Pendidikan islam tradisi
dan moderenisasi ditengah tantangan millennium III. Jakarta : kencana
prenada media group.
² Aminuddin dkk, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi Umum (Jakarta:Ghalia
Indonesia,2002) h.18
² Drs. Kaelany HD, M.A , Islam dan Aspek-aspek
Kemasyarakatan (Jakarta: PT Bumi Aksara,2000) h.6
² Prof. azyumardi Azra, M.A, M.Phil., Ph.D , pendidikan islam tradisi dan modernisasi
ditengah tantangan milineum III (Jakarta:kencana prenada media goup, 2012).
Halaman 41
² Prof. azyumardi Azra, M.A, M.Phil., Ph.D , pendidikan islam tradisi dan modernisasi
ditengah tantangan milineum III (Jakarta:kencana prenada media goup, 2012).
Halaman 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar